lenterakalimantan.com – KALIMANTAN SELATAN, daerah kaya tambang yang nestapa. Dimana keadilan mati, dan hukum ditaklukkan oleh kuasa dan dana. Setelah tahun 90-an kayunya habis dibabat konglomerat, menyisakan rakyat yang tetap melarat, kini di 2000-an batu baranya menghadirkan haji kaya-raya, di tengah rakyat kebanyakan yang terus miskin-papa.
Pemilu hanya jadi mainan penuh simsalabim, dimana DEMOkrasi (daulat rakyat) diubah paksa menjadi DUITokrasi (daulat uang). Putusan Mahkamah Konstitusi kemarin, terkait sengketa kursi DPR RI di Kalsel, menegaskan bagaimana hukum berkhianat (lagi) pada keadilan, menegaskan kecurangan pemilu tidaklah dijatuhkan sanksi, justru malah dihadiahi kursi DPR RI.
Di hari senin kemarin, ada dua putusan MK RI untuk DPR Kalsel. Satu, perampokan kursi PDI Perjuangan, dan satu lagi mengorbankan Partai Demokrat. Kursi PDI Perjuangan banyak dicuri di Kabupaten Tanah Bumbu, wilayah yang memang sarat dengan praktik haram mafia tambang batu bara. Sedangkan suara Partai Demokrat dijarah di Kabupaten Banjar, yang sejak lama leluasa melakukan praktik jual-beli suara. Pemain utama praktik curang Kabupaten Banjar sebenarnya itu-itu saja, konon tetap dilakukan oleh orang yang sama, dan sudah menjadi rahasia umum di Banua Kalsel.
Saya lebih paham soal dijarahnya suara Partai Demokrat, dan akan lebih membahasnya, sambil tetap bersimpati dengan raibnya kursi PDI Perjuangan.
Mahkamah Konstitusi menutup mata atas praktik telanjang-bulat penggelembungan suara yang dilakukan oleh oknum penyelenggara dan caleg. Modusnya tidak unik. Suara digelembungkan pada level kecamatan, sebagaimana juga terjadi di banyak daerah lain.
Suara di level TPS (C Hasil/Salinan) digelembungkan pada level rekapitulasi di formulir D hasil kecamatan. Sejak kami mengajukan perkara di Bawaslu Kabupaten Banjar sudah tercium bau amis. Ketika diajak adu bukti-adu data, pihak PPK menolak dengan berbagai dalih. Aneh bin ajaib, putusan Bawaslu Banjar menyatakan tidak ada kesalahan, meskipun akhirnya dikoreksi Putusan Bawaslu RI.
Ketika diajukan ke MK, semua bukti penggelembungan D hasil kecamatan berhasil kami hadirkan. Hebatnya, dan nekatnya, para oknum kemudian mengubah dan memanipulasi berbagai dokumen C Hasil, C Salinan, dan merekayasa Formulir Kejadian Khusus.
Mahkamah Konstitusi dengan mudahnya mengatakan bukti kami tidak meyakinkan, sambil mengatakan bukti KPU, Bawaslu dan Pihak Terkait (PAN) lebih selaras. Tip-X dan pencoretan pada C Hasil dan Salinan yang dilakukan, dianggap MK sudah sesuai prosedur. Naifkah, atau koruptif?
Padahal, sangat-amat mudah untuk melihat bahwa semua itu dokumen yang dipalsukan:
- MK mengakui adanya pencoretan dan Tip-x pada C Hasil dan C salinan. Dokumen yang seharusnya mudah diketahui palsu, karena saksi yang kami hadirkan di persidangan mengetahui dokumen yang diterima di TPS, yang masih asli, tidak ada coretan ataupun Tip-x,
- MK dengan mudah dapat melihat banyak paraf yang sama pada dokumen-dokumen palsu tersebut, yang tentu tidak mungkin, karena Ketua KPPS pasti berbeda. Ahli kami di persidangan juga membuktikan soal kepalsuan paraf/tanda tangan di dokumen-dokumen tersebut.
- MK seharusnya dapat melihat rekayasa kejadian khusus yang semuanya sama. Salah satu saksi kami (Ketua Panwascam) mengakui hampir satu bulan terpaksa membuat 150-an Formulir A terkait rekayasa kejadian khusus tersebut.
- MK seharusnya dengan mudah melihat, sekitar 95% kejadian khusus tersebut membawa konsekuensi yang sama, bertambahnya suara PAN, yang sama besar dengan berkurangnya suara tidak sah. Modus lama!
Jika kebetulan yang demikian dianggap hal wajar, maka memang mata hati kita sudah ditutup dengan ketololan dan kepalsuan.
Kebetulan yang demikian, benar-benar kejadian khusus, yang betul-betul khusus. Khusus menambah suara PAN, dan mengurangi suara tidak sah. Kebetulan yang amat-sangat luar biasa!
- Di persidangan, kami menghadirkan saksi yang mengakui rekayasa dan pembuatan dokumen-dokumen palsu C Hasil/Salinan, Kejadian Khusus, serta menghadiri rapat-rapat koordinasi yang selain dihadiri unsur KPU, Bawaslu, juga melibatkan pengacara Caleg Khairul Saleh. Kehadiran unsur parpol/caleg demikian jelas menunjukkan adanya konspirasi untuk mengubah serta memanipulasi dokumen-dokumen pemilu dan merusak prinsip independensi penyelenggara.
Perubahan dan manipulasi dokumen-dokumen itu dikomunikasikan lewat WA grup, dan semuanya telah kami jadikan bukti di persidangan. Anehnya, saksi kunci ini sama sekali tidak dipertimbangkan dalam putusan MK. Padahal di persidangan pula, saya sendiri sengaja hanya mengajukan pertanyaan kepada yang bersangkutan. Ibarat judul film, Ada Apa dengan Cinta, pertanyaannya: Ada Apa dengan MK?
Melihat kedzaliman yang telanjang demikian, kita tidak boleh diam. Saya memilih bersuara. Putusan MK memang sudah final, dan tidak bisa diubah. Tetapi bukan berarti kejahatan dan kedzaliman dibiarkan bebas melenggang-kangkung. Perlawanan tetap harus dilakukan, nyaring diteriakkan. Yang dilahirkan bukan kemenangan rakyat Kalsel, tetapi kehadiran kursi haram di DPR RI.
Kepada satu wartawan Kalsel yang menanyakan komentar atas Putusan MK, saya jawab, hanya dengan satu kata, dalam bahasa Banjar, menyupani, artinya: ME-MA-LU-KAN!